urutan | nama pacar | Hobby Pacar |
pertama | Ita | Tinju |
kedua | Mita | begadang |
ketiga | Mia | nonton film perang |
keempat | Tami | Tidur |
Rabu, 30 Mei 2012
KATA-KATA TERINDAHQ
BELAJARLAH UNTUK SABAR
SEPERTI AISAH
SETIA SEPERTI KHDIJA
IKHLAS SEPERTI MARIYAM
TABAH SEPERTI FATIMAH.
KADANG LEBIH BAIK DIAM
DARI PADA MENJELASKAN
APA YANG KITA RASAKAN
KARENA MENYAKITKAN
KETIKA MEREKA BISA
MENDENGARKAN
TAPI TAK BISA MENGERTI
TUHAN
Q TAK BUTUH ORANG SEMPURNA
UNTUK MENDAMPINGIQ
Q HANYA INGIN
ORANG YANG INGIN MENJADI
PELENGKAP KEKURANGANQ
MEMBUAT Q MERASA ADA
MEMBUAT Q TERSENYUM
DAN BERKATA Q BERUNTUNG
MEMILIKIMU
BILA Q TAK BERUJUNG DEGANMU
BIARKAN KISAH INI
KUKENAG SELAMANYA
TUHAN
TOLONG BUANG
RASA CINTAKU JIKA
TAK KAU IJINKAN
Q BERSAMANYA
BELAJARLAH UNTUK SABAR
SEPERTI AISAH
SETIA SEPERTI KHDIJA
IKHLAS SEPERTI MARIYAM
TABAH SEPERTI FATIMAH.
KADANG LEBIH BAIK DIAM
DARI PADA MENJELASKAN
APA YANG KITA RASAKAN
KARENA MENYAKITKAN
KETIKA MEREKA BISA
MENDENGARKAN
TAPI TAK BISA MENGERTI
TUHAN
Q TAK BUTUH ORANG SEMPURNA
UNTUK MENDAMPINGIQ
Q HANYA INGIN
ORANG YANG INGIN MENJADI
PELENGKAP KEKURANGANQ
MEMBUAT Q MERASA ADA
MEMBUAT Q TERSENYUM
DAN BERKATA Q BERUNTUNG
MEMILIKIMU
BILA Q TAK BERUJUNG DEGANMU
BIARKAN KISAH INI
KUKENAG SELAMANYA
TUHAN
TOLONG BUANG
RASA CINTAKU JIKA
TAK KAU IJINKAN
Q BERSAMANYA
TUGAS
PROPOSAL
NILAI PENDIDIKAN PADA IPADO DALAM MASYARAKAT TOLAKI
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan sastra lisan yang tersebar disleruh daerah di Nusantara. Sastra lisan sebagai kekayaan budaya bangsa merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang berharga, sebab tidak hanya menyimpan nilai-nilai budaya masyarakat tradisional, tetapi juga menjadi akar budaya dari suatu masyarakat baru. Mursal Esten (1990: 105) mengatakan bahwa sastra lisan dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru dalam masyarakar moderen.oleh karena itu, penelusuran nilai-nilai budaya yang berakar pada masyarakat dapat memberikan inspirasi bagi terjadinya budaya baru. Nilai–nilai budaya yang berakar dari masyarakat dapat memperkuat jati diri masyarakatnya, sehingga masyarakat tidak emosional dan histeria (Rahman, 1999: Viii).
Sastra daerah merupakan aset kebudayaan yang harus dipelihara dandikembangkan. Hal ini disebabkan karena sastra daerah adalah rekaman cita, rasa dan karsa masyarakatnya.
Usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah tidak dapat dilepaskan dari upaya penggalian sumber-sumber kebudayaan daerah. Dalam rangka memberikan corak dan karakteristik kepribadian daerah sebagai gambaran yang berlangsung dan terseleksi secara turun-temurun mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menjalankan otonomi daerah.
Dalam upaya menggali kebudayaan daerah diperlukan data dan informasi yang lengkap sehingga keanekaragaman daerah dapat terwujud sebagai bagian dari pembangunan daerah.
Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat penting adalah sastra daerah yang masih berbentuk lisan dan mengakar di masyarakat. Sastra lisan tersebut merupakan arsip kebudayaan yang menyimpang berbagai data dan informasi kebudayaan daerah, karena di dalamnya terdapat berbagai ilmu pengetahuan, ajaran-ajaran, adat istiadat yang banyak mengandung nilai-nilai luhur masyarakat pendukungnya.
Sastra daerah adalah warisan leluhur bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai sosial budaya, falsafah, religius, etnis moral, norma-norma tata krama di sepanjang kehidupan kita. Sejalan dengan perkembangan zaman yang kompetetif yang dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen berdampak pula pada bergesernya tata nilai dan struktur budaya dalam masyarakat. Hal ini perlu disadari oleh warga negara bahwa sastra lisan yang tersebar di berbagai daerah semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Pemerolesan informasi yang serba canggih telah memperlihatkan dominasinya dalam merebut simpati generasi muda, akibatnya sastra lisan yang merupakan warisan leluhur terabaikan begitu saja.Di samping itu penyebarannya bersifat lisan tanpa dokumen tertulis dan penutur setia semakin berkurang menjadikan sastra lama terancam punah. Apabila ancaman tersebut tidak segera diatasi maka sastra tersebut lambat laun akan punah sama sekali. Padahal dalam sastra lisan lama itu tersimpan mutiara kehidupan yang sangat berharga untuk diwarisi dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Membicarakan kehidupan sastra secara keseluruhan tidak terlepas dari persoalan kesusastraan daerah, khususnya sastra lisan, yang merupakan warisan budaya daerah yang turun temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hubungan dengan usaha menangkal efek negatif globalisasi. Banyaknya bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh perkembangan zaman, cukup mempengaruhi pelestarian bahasa daerah yang merupakan budaya daerah dalam suatu daerah tertentu.
“Bahasa daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka pengembangan serta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia dan khazanah kebudayaan nasional sebagai salah satu unsur kepribadian bangsa. Oleh karena itu, bahasa daerah perlu terus dibina agar tetap menjadi ungkapan budaya masyarakat yang mendukung kebhinekaan budaya sebagai unsur kreativitas dan sumber kekuatan bangsa. Sejalan dengan itu perlu ditingkatkan penelitian, pengkajian dan pengembangan bahasa dan sastra daerah”.
Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman aturan tertinggi bagi kelakuan manusia, seperti aturan hukum di dalam masyarakat. Nilai budaya itu biasanya mendorong suatu pembangunan spiritual, seperti tahan cobaan, usaha dan kerja keras, toleransi terhadap pendirian atau kepercayaan orang lain, dan gotong royong.
Usaha menggali nilai sastra lisan bukan berarti menampilkan sifat kedaerahan, melainkan penelusuran terhadap unsur kebudayaan daerah yang perlu dilaksanakan karena sastra daerah merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi kesempurnaan keutuhan budaya nasional kita.
Sastra lisan sebagai produk budaya sarat dengan ajaran pendidikan bukan hanya berfungsi untuk menghibur, melainkan juga mengajar, terutama mengajarkan nilai-nilai yang terkait dengan kualitas manusia dan kemanusiaan.
Di samping itu, terkandung nilai budaya yang sifatnya universal di antaranya nilai keagamaan, nilai kesetiaan, nilai sosial, nilai historis, nilai moral, nilai pendidikan, nilai etika, dan nilai kepahlawanan. Sulawesi Tenggara adalah salah satu wilayah kepulauan yang memiliki penduduk yang majemuk dan beragam etnis. Kemajemukan dan keberagaman etnis masyarakatnya menjadikan wilayah ini kaya dengan sastra lisan.
Sastra lisan mengandung nilai-nilai budaya, tumbuh dan berkembang sejalan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya sehingga memegang peranan penting dalam pembentukan watak sosial masyarakat pendukungnya. Ketiga mayoritas etnis Sulawesi Tenggara yaitu Muna, Buton, dan Tolaki, memiliki kekayaan sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat termasuk nilai-nilai yang menjadi prinsip hidup masyarakatnya.
Sastra adalah sebuah dokumen sosial budaya yang mencatat kegiatan social budaya suatu masyarakat pada suatu masyarakat tertentu. Bagi banyak orang karya sastra mmenjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, baik secara tersirat maupun secara tersurat. Karya sastra juga dipakai untuk menggambarkan apa makna dalam pendekatan ekspresif. Karya sastra diibaratkan sebagai potret atau sketsa kehidupan. Namun, potret itu tentulah berbeda dengan cermin karena sebagai kreasi manusia. Di dalam sastra banyak terdapat pendapat dan pandangan penulisnya darimana dan bagaimana melihat kehidupannya. Saini K.M (1986: 19) mengemukakan bahwa sastra dapat membantu pembaca dapat menghayati kehidupan secara jelas, lebih mendalam, dan lebih kaya sebab sastra memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan penafsiran serta penilaian terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Karena itulah pengkajian dan penghayatan karya sastra merupakan salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pembinaan mental.
Sastra merupakan hal menarik dan menghibur dengan menampilkan keindahan dan memberikan makna pada kehidupan, daerah tolaki juga memiliki ciri khas dalam hal sastra daerah,misalnya sastra lisan.salah satu sastra lisan yang ada di daerah tolaki adalah i pado merupakan hal sakral bagi masyarakat yang masih meyakini.hal ini dikarenakan saat ini para generasi muda tidak lagi mempercayai hal itu.mereka telah beranggapan bahwasanya i pado hanyalah taktik orang tua untuk menakut-nakuti. Dengan demikian dalam penulisan proposal ini penulis mencoba memberikan gambaran mengenai i pado itu sendiri. Meskipun demikian, hingga saat ini keberadaan i pado masih tetap ada dalam masyarakat tolaki. Hal tersebut dikarenakan i pado merupakan landasan dasar bagi masyaraka tolaki dalam melakukan suatu aktifitas dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu dalam i pado banyak mengandung nilai-nilai yang erat hubungannya dengan masyarakat.misalnya nilai pendidikan,nilai moral,nilai sosial dan sebagainnya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis menyajikan nilai pendidikan pada i pado dalam masyarakat tolaki. Semoga dengan penulisan ini generasi muda khususnya masyarakat tolaki tidak lagi beranggapan bahwa i pado merupakan mitos belaka.
1. 2. Masalah
Berdasarkan latar berlakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimanakah nilai pendidikan pada i pado dalam masyarakat tolaki kecamatan tinanggea”?.
1. 3. Tujuan
Untuk mengetahui Nilai pendidikan pada i pado dalam masyarakat tolaki kecamatan t
inanggea
1. 4. Manfaat
Manfaat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut
1. Sebagai salah satu upaya dan pelestarian sastra daerah.
2. Sebagai bahan pembelajaran disekolah khusnya pada pembelajaran muatan lokal.
3. sebagai bahan bacaan bagi masyarakat yang memiliki jiwa kesastraan utamanya dalam sastra daerah.
4. sebagai sumbangan pemikiran pada masyarakat akan pentingnya i pado dalam kehidupan sehari-hari
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada Nilai Pendidikan pada i pado, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tolaki kecamatan tinanggea.
1.6 Definisi Operasional
1. I pado adalah suatu hal yang sakral bagi masyarakat tolaki pada umumnya yang masih meyakini kebedaan i pado tersebut.
2. Nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi perhatiannya.
3. Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan berpendidikan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Sastra
2.1.1 Unsur-Unsur Pembentuk Karya Sastra
Sebenarnya sangat sulit menjelaskan unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra. Namun, setidak-tidaknya hal itu dapat didekati dari dua sisi. Pertama kita lihat dari definisi-definisi yang telah diungkapkan. Dari definisi-definisi yang sudah ada, ada unsur-unsur yang selalu disinggung. Unsur-unsur tersebut dapat dipandang sebagai unsur-unsur yang dianggap sebagai pembentuk karya sastra.
Menurut Luxemburg (1992: 4-6) beberapa ciri yang selalu muncul dari definisi-definisi yang pernah diungkapkan antara lain :
a. Sastra merupakan ciptaan atau kreasi, bukan pertama-tama imitasi.
b. Sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), terlepas dari dunia nyata.
c. Sastra mempunyai ciri koherensi atau keselarasan antara bentuk dan isinya.
d. Sastra menghidangkan sintesa (jalan tengah) antara hal-hal yang saling bertentangan.
e. Sastra berusaha mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan.
Pendekatan kedua dapat dilihat dengan cara melihat bagaimana seorang juri atau editor mempertimbangkan mutu sebuah karya sastra.
Sumardjo dan Zaini KM (1988: 5-8) mengajukan sepuluh syarat karya sastra bermutu, yaitu
a. Karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya.
b. Sastra adalah komunikasi, artinya bisa dipahami oleh orang lain.
c. Sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-kaidah seni.
d. Sastra adalah penghiburan, artinya mampu memberi rasa puas atau rasa senang pada pembaca.
e. Sastra adalah sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya.
f. Sebuah karya sastra yang bermutu merupakan penemuan.
g. Karya yang bermutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya.
h. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat, artinya padat isi dan bentuk, bahasa dan ekspresi.
i. Karya sastra yang bermutu merupakan (hasil) penafsiran kehidupan.
j. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah pembaharuan.
Berbeda dengan Sumardjo dan Zaini KM, Luxemburg berpendapat bahwa :
a. Karya sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun untuk tujuan komunikasi praktis dan sementara waktu.
b. Karya sastra adalah teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas.
c. Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut.
d. Bahannya diolah secara istimewa.
e. Karya sastra dapat kita baca menurut tahap-atahp arti yang berbeda-beda.
f. Karena sifat rekaannya sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugak kita untuk langsung bertindak.
g. Sambil membaca karya sastra tersebut kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh atau dengan orang-orang lain.
h. Bahasa sastra dan pengolahan bahan lewaat sastra dapat membuka batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru.
i. Bahasa dan sarana-sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri.
j. Sastra sering digunakan untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam masyarakat.
2.1.2 Pengertian Kesusastraan
Kesusastraan berasal dari bahasa Sanskerta sastra yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman". Dalam bahasa Indonesia, kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Kesusastraan juga didefinisikan sebagai ilmu atau pengetahuan tentang segala hal yang bertalian dengan susastra. Kesusastraan di Indonesia terbagi dalam dua zaman. Zaman kesusastraan lama dan zaman kesusastraan baru, masing-masing karya memiliki ciri khas tersendiri.
Parsons (dalam wahid, 2004 : 153) mengatakan bahwa sastra adalah sebuah pola tindakan komunikasi,kolektif, ekspresif, dan bersifat instrumental ataupun menjadi lembaga primer dalam suatu lingkungan subkultural tertentu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semua ahli sastra mengakui bahwa mustahil untuk memberikan defenisi mengenai sastra yang berlaku untuk semua lingkungan kebudayaan dan semua zaman.
Kesusastraan adalah mengungkapkan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai mediumnya dan memiliki aspek positif terhadap kehidupan manusia.
2.1.3 Sastra Lama
Karya sastra lama lahir dalam masyarakat lama pada zamannya. Masyarakat pada waktu itu masih memegang adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama.
Karya sastra merupakan hasil cipta rasa manusia. Karya sastra lahir dari ekspresi jiwa seorang pengarang. Suatu hasil karya dikatakan memiliki nilai sastra jika isinya dapat menimbulkan perasaan haru, menggugah, kagum, dan mendapat tempat di hati pembacanya. Karya sastra seperti itu dapat dikatakan sebagai karya sastra yang adiluhung, yaitu karya yang dapat menembus ruang dan waktu. Karya sastra lama atau klasik lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat dan lain-lain. Karya-karya kesusastraan lama sangat dipengarui oleh muatan lokal berupa adat istiadat dan budaya yang berlaku pada zamannya.
2.1.4 Sastra Lisan
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di masyarakat dari pada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita pada para pendengarnya, guru pada para muridnya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa. Sastra lisan ini dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi dan upacara yang magi Sastra lisan sangat digemari oleh warga masyarakat dan biasanya didengarkan bersama-sama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran dan harapan masyarakat. Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari sastra lisan berdampak positif pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat. Dalam konteks ini, bisa dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki fungsi sosial, disamping fungsi individual. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa memudarnya tradisi sastra lisan di masyarakat merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka, dan sebaliknya. Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak dibanding dengan sastra tulis. Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa, nyanyi panjang, dodoi, koba dll. Gurindam, dongeng, legenda dan syair pada awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun, perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan di istana–istana Melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis. Sehingga gurindam, dongeng, legenda dan syair berkembang menjadi bagian dari tradisi tulis. Tampaknya, ini adalah bagian dari wujud interaksi positif antara sastra lisan dan tulisan. Dalam portal ini, berbagai jenis sastra lisan dibahas secara lebih rinci. Sastra lisan merupakan karya sastra yang diucapakan dan disampaikan secara lisan dengan mulut, baik dalam pertunjukan maupun luarnya (Hutomo, 1983: 2). Atmazaki (1986: 82) berpendapat bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut) oleh seorang penderita atau penyair kepada sese
orang atau kelompok pendengar. 2.2. Pengertian Nilai Dan Pendidikan. 2.2.1 Pengertian Nilai Tidak mudah untuk mendifinisikan tentang nilai, namun paling tidak pada tataran praxis nilai dapat disebut sebagai sesuatu yang menarik, dicari , menyenangkan, diinginkan dan disukai dalam pengertian yang baik atau berkonotasi positif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi perhatiannya. Sebagai standar perilaku, tentunya nilai menuntut seseorang untuk melakukannya seperti telah diungkap Konsekuensi dari pemahaman akan nilai seperti diutarakan di atas, menjadikan nilai itu secara praktis sebagai standar perilaku yang menjadikan orang berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang telah diyakininya, sekalipun pada sebagian orang ditemukan kurang dalam pengertian tidak selamanya menyadari nilai yang dimilikinya, sehingga menjadikannya terperosok pada perilaku yang berseberangan dengan prespektif nilai. 2.2.2 Pengertian Pendidikan Pendidikan berasal dari kata pedagogi (paedagogie, Bahasa Latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogia (paedagogik) yang berarti ilmu pendidikan yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ (anak, pen) dan ‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, memimpin anak. Sedangkan paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang (pemuda, pen) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa, pen) ke dan dari sekolah. Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab. Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan berpendidikan.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974: 23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi dan membolos misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan. Karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.Banyak rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:
a. John Dewey : pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional sesama manusia.
b. JJ. Rouseau : Pendidikan merupakan pemberian bekal kepada kita apa yang tidak kita butuhkan pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita butuhkan pada saat dewasa.
c. M. J. Langeveld : Pendidikan merupkan setiap usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Menurut Langeveld pendidikan hanya berlangsung dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah dewasa (atau yang diciptakan orang dewasa seperti : sekolah, buku model dan sebagainya) dengan orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
d. John S. Brubacher : Pendidikan merupakan proses timbal balik dari tiap individu manusia dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta.
e. Kingsley Price mengemukakan: Education is the process by which the nonphysical possessions of culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults. (Pendidikan adalah proses yang berbentuk non pisik dari unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa).
f. Mortimer J. Adler : Pendidikan adalah proses dimana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.
Defenisi di atas dapat dibuktikan kebenarannya oleh filsafat pendidikan, terutama yang menyangkut permasalahan hidup manusia, dengan kemampuan-kemampuan asli dan yang diperoleh atau tentang bagaimana proses mempengaruhi perkembangannya harus dilakukan. Suatu pandangan atau pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan objek pembahasan menjadi pola dasar yang memberi corak berpikir ahli pikir yang bersangkutan. Bahkan arahnya pun dapat dikenali juga.
Dari berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa dikalangan pakar pendidikan sendiri masih terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan ahli pendidikan itu dan kondisi pendidikan yang diperbincangkan saat itu, yang semuanya memiliki perbedaan karakter dan permasalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju terbentuknva kepribadian dan aólaq mulia dengan menggunakan media dan metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
2.2.3 Hubungan Seni Dan Nilai Pendidikan
Sejarah persoalan tentang relasi seni dan nilai-nilai pendidikan telah berlaku panjang. Masalah ini tak hanya mencakup soal bagaimana ‘penilaian pendidikan berlaku bagi seni’ atau karya seni, tetapi juga berlakunya persoalan ‘penilaian pendidikan seni’.
Dalam tradisi padangan estetik yang berlaku hingga kini, terdapat dua kutub yang sering diposisikan sebagai sikap yang bertentangan. Terutama melalui perkembangan prinsip-prinsip seni dan penciptaan seni yang kemudian dianggap memiliki sikap otonom, maka berkembang kepercayaan bahwa penilaian pendidikan tentang seni berlaku terpisah dengan penilaian pendidikan tentang pengalaman dan prektek kehidupan.
Seni dianggap memiliki wilayah pendidikan secara tersendiri, dan hanya bisa diuji melalui caranya sendiri secara khas. Pandangan ini disebut sebagai sikap nominalisme didukung kaum‘nominalis yang berkembang terutama seiring dengan pertumbuhan prinsip-prinsip modernisme dalam seni. Pandang yang lebih tradisional disebut sebagai sikap utopisme dan kaum utopis menganggap bahwa pendidikan seni justru berkaitan dengan perkembangan nilai-nilai dalam pengalaman hidup. Kedua pandangan ini sebenarnya memiliki titik pijakan yang sama, yang berusaha menempatkan posisi penting seni dam pendidikan dalam peningkatan kesadaran manusia tentang nilai-nilai hidup.
Dalam perkembangan seni hingga saat itu, kedua pandangan itu tak lagi dilihat sebagai dua kutub yang seolah berbeda sama sekali dan tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya, selain justru sebagai aspek-aspek dualitas yang saling memperkaya makna kesatuannya.
Pada hubungan seni dan pendidikan, sebenarnya terdapat aspek lain yang turut memperkaya pembicaraan tentang kaitan diantara keduanya, yaitu: kebebasan. Baik kaum nominalis maupun utopis sama-sama mensyaratkan pembicaraan tentang kebebasan. Kaum utopis percaya bahwa seni berkaitan dengan ontologi fiksi dan representasi, dengan demikian maka seni dan karya seni dianggap memiliki kapasitas untuk menunjukkan bahwa dunia dan
segala pengalaman hidup itu bisa berlaku sebagai hal yang terjadi sebaliknya, atau: lebih baik. Maka seni dan ekspresi seni dianggap berlaku sebagai unsur yang akan mampu menghidupkan imajinasi setiap orang tentang nilai-nilai pendidikan, dengan demikian seni berlaku membebaskan [beban] seseorang yang tumbuh dari pengalaman hidupnya. Bagi kaum nominalis, cara menghidupkan kebebasan imajinasi seni secara khusus dan khas yang paling mendapatkan perhatian. Imajinasi estetis tak hanya menggerakan kebebasan para seniman menyatakan representasi tentang nilai-nilai pendidikan, tetapi juga menghidupkan kebebasan pihak yang menanggapi nilai-nilai pendidikan melalui karya seni tersebut.Tentu saja, ihwal kebebasan estetis ini berlaku sebagai nilai pengalaman yang khusus, yang memisahkan pengalaman dan praktek hidup yang langsung dengan nilai-nilai pencapaian yang ditempuh melalui seni dan ekspresi seni. Kaum nominalis mendukung pentingnya aspek imajinasi estetik ini sebagai pra-kondisi penting bagi penilaian pendidikan dan sikap otonom yang bersifat politis.
Dalam kurun perkembangan seni hingga masa kini, termasuk juga berlangsung di Indonesia, kedua cara pandang itu telah menjadi warisan sikap yang berlaku saling terpaut. Segi-segi sikap tertentu yang tumbuh dari masing-masing cara pandangan tersebut kini telah berlaku campur, dan tidak seluruhnya terjelaskan secara tegas dan ketat.
Berkembangnya persepsi tentang seni dan pendidikan, juga kaitan diantara keduanya, dalam berbagai manifestasi karya seni menunjukkan bahwa kedua merupakan implementasi dari sikap-sikap yang berlaku kultural. Persepsi tentang nilai-nilai seni, pendidikan dan kebebasan berlaku dalam berbagai varian praktek kultural yang berbeda-beda, keseluruhannya bercampur serta mengandung kerangka hidup nilai-nilai yang berlaku secara umum sekaligus juga khusus; universal juga personal; global tapi juga lokal. Namun demikian, setidaknya, pengamatan terhadap sensitivitas ekpresi seni yang menunjukkan persepsi umum yang menyatakan anggapan bahwa seni, sepanjang seseorang menganggapnya penting, akan selalu berlaku pada sisi nilai-nilai kebebasan.
Kebebasan pendidikan dan kebebasan seni merupakan dua pokok yang tak lagi bisa dianggap terpisah secara, sebagaimana halnya kita maklum bahwa bagaimanapun seni susah untuk bisa dipisahkan dari berbagai manifestasi nilai dan praksis hidup.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari setiap orang tentu akan memiliki apa yang disebut sebagai alasan bagi tindakan keseharian (every day reasoning), menyangkut pengetahuan kita tentang bahasa keseharian serta berbagai makna dari asosiasi verbalnya. Alasan-alasan tersebut tentu bersifat kultural, dikumpulkan serta berlaku sebagai hasil dari pengalaman keseharian aktivitas sosial dan berbagai perhitungan tentangnya. Diantara alasan bagi tindakan keseharian tersebut juga berlaku alasan-alasan pendidikan (moral reasoning), sebagai praksis yang mendapatkan dasar pembenarannya dari sumber-sumber kepercayaan nilai yang dipahami setiap orang. Pada prakteknya, praksis pendidikan ini berlaku sebagai keputusan yang secara terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Seni mengajarkan makna kebebasan untuk menyatakan pilihan tersebut.
Dalam perkembangan praktek seni rupa Indonesia sumber-sumber rujukan pendidikan terutama berasal dari kepercayaan-kepercayaan agama dan budaya, melalui berbagai media narasi dan bentuk-bentuk simbolik yang mewakilinya. Seiring kemajuan modernitas Indonesia, muncul dan berkembang berbagai narasi lain kemudian jadi rujukan pendidikan, selain narasi yang telah jadi Tradisi. Narasi-narasi lain ini tak hanya bersumber pada keyakinan religi dan keyakinan budaya lokal saja, tetapi juga merujuk pada kelangsungan tata nilai yang besifat global-muncul sebagai isu-isu mengenai, misalnya: keseimbangan ekosistem dunia, perdamaian dunia, keadilan sosial, gaya hidup global, mitologi peradaban manusia.
Dalam implementasinya, berbagai rujukan tersebut bercampur dan berinteraksi. Dalam manifestasi karya-karya seni, relasi seni dan pendidikan dinyatakan dalam tiga strategi atau cara penyampaian, yaitu: (a) pernyataan tentang nilai-nilai keutaman dan kebaikan (goodness) hidup (b) pernyataan melalui humor dan (c) pernyataan yang mempertanyakan serta penyampaikan kritik.
Nilai-nilai keutamaan dan kebaikan adalah manifestasi yang berlaku umum di Indonesia menyatakan soal keyakinan hidup seseorang tentang makna kehidupan yang semestinya dijalani setiap orang. Representasi karya-karya dalam cara ini menyampaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, persoalan pendidikan sebagai arah rujukan makna-makna yang bisa digali pada karya-karya yang dikerjakan oleh para seniman. Asumsi yang mendasari pengerjaan karya-karya ini menempatkan alasan atau jawaban pendidikan tertentu sebagai landasasan penggalian makna-makna dari persoalan yang menjadi daya tarik maupun tantangan bagi para seniman untuk dihadapi
BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
2.3 Metode Dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif kualitatif. Dengan demikian dalam penelitian ini, penulis memaparkan nilai-nilai i pado dalam masyarakat tolaki, kecamatan tinanggea sebagaimana mestinya. Dalam pemaparan ini penulis tidak menggunakan angka-angka statistic, melainkan dengan menghubungkan ide atau gejala yang satu dengan yang lain.
Ditinjau dari segi data dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan. Peneliti terlibat langsung dilapangan dalam pengumpulan keseluruhan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Jenis penelitian ini sangat sesuai dengan penggunaan metode deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 1993: 8 )
3.2 Data Dan Sumber Data
3.2.1 Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah data yang berupa bahasa lisan yang berupa tuturan-tuturan yang dituturkan langsung oleh orang tua terdahulu yang mengetahui dan memahami secara detail mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam i pado
3.2.2 Sumber Data
Data dalam penulisan proposal ini bersumber dari informan, yaitu masyarakat asli daerah tolaki. Dalam menentukan informan peneliti menentukan criteria sebagai berikut :
a. Penduduk serta penutur asli bahasa tolaki.
b. Masyarakat tolaki yang masih meyakini kebenaran i pado dalam kehidupannya.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tekni wawancara, rekam dan teknik simak catat. Hal ini dilakukan untuk memperkuat bukti bahwa data yang ada sesuai dengan kenyataan dilapangan.
1. Wawancara yaitu kegiatan awal atau percakapan yang dilakukan sebelum merekam data pembicaraan dari informan
2. Teknik rekam yaitu pemerolehan data dengan cara merekan pembicaraan informan yang sengaja dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang falit.
3. Teknik simak catat yaitu teknik yang dilakukan guna memperoleh data dengan cara memperhatikan, kemudian mencatat pembicaraan atau informasi dari informan sebagai data dalam penelitian.
3.4 Teknik Analisis Data
Dari data yang terkumpul dalam bentuk wawancara, rekam dan simak catat kegiatan selanjutnya guna melakukan transkripsi yaitu memindahkan dengan menyalin data lisan menjadi data tertulis dengan menggunakan huruf latin.
Setelah data ditranskripsi menjadi data tulis, Data kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk proses analisis. Terjemahan dilakukan secara bebas dengan menyesuaikan arti dan makna yang sesuai dan dimengerti dari data tersebut.
PROPOSAL
NILAI PENDIDIKAN PADA IPADO DALAM MASYARAKAT TOLAKI
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan sastra lisan yang tersebar disleruh daerah di Nusantara. Sastra lisan sebagai kekayaan budaya bangsa merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang berharga, sebab tidak hanya menyimpan nilai-nilai budaya masyarakat tradisional, tetapi juga menjadi akar budaya dari suatu masyarakat baru. Mursal Esten (1990: 105) mengatakan bahwa sastra lisan dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru dalam masyarakar moderen.oleh karena itu, penelusuran nilai-nilai budaya yang berakar pada masyarakat dapat memberikan inspirasi bagi terjadinya budaya baru. Nilai–nilai budaya yang berakar dari masyarakat dapat memperkuat jati diri masyarakatnya, sehingga masyarakat tidak emosional dan histeria (Rahman, 1999: Viii).
Sastra daerah merupakan aset kebudayaan yang harus dipelihara dandikembangkan. Hal ini disebabkan karena sastra daerah adalah rekaman cita, rasa dan karsa masyarakatnya.
Usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah tidak dapat dilepaskan dari upaya penggalian sumber-sumber kebudayaan daerah. Dalam rangka memberikan corak dan karakteristik kepribadian daerah sebagai gambaran yang berlangsung dan terseleksi secara turun-temurun mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menjalankan otonomi daerah.
Dalam upaya menggali kebudayaan daerah diperlukan data dan informasi yang lengkap sehingga keanekaragaman daerah dapat terwujud sebagai bagian dari pembangunan daerah.
Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat penting adalah sastra daerah yang masih berbentuk lisan dan mengakar di masyarakat. Sastra lisan tersebut merupakan arsip kebudayaan yang menyimpang berbagai data dan informasi kebudayaan daerah, karena di dalamnya terdapat berbagai ilmu pengetahuan, ajaran-ajaran, adat istiadat yang banyak mengandung nilai-nilai luhur masyarakat pendukungnya.
Sastra daerah adalah warisan leluhur bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai sosial budaya, falsafah, religius, etnis moral, norma-norma tata krama di sepanjang kehidupan kita. Sejalan dengan perkembangan zaman yang kompetetif yang dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen berdampak pula pada bergesernya tata nilai dan struktur budaya dalam masyarakat. Hal ini perlu disadari oleh warga negara bahwa sastra lisan yang tersebar di berbagai daerah semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Pemerolesan informasi yang serba canggih telah memperlihatkan dominasinya dalam merebut simpati generasi muda, akibatnya sastra lisan yang merupakan warisan leluhur terabaikan begitu saja.Di samping itu penyebarannya bersifat lisan tanpa dokumen tertulis dan penutur setia semakin berkurang menjadikan sastra lama terancam punah. Apabila ancaman tersebut tidak segera diatasi maka sastra tersebut lambat laun akan punah sama sekali. Padahal dalam sastra lisan lama itu tersimpan mutiara kehidupan yang sangat berharga untuk diwarisi dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Membicarakan kehidupan sastra secara keseluruhan tidak terlepas dari persoalan kesusastraan daerah, khususnya sastra lisan, yang merupakan warisan budaya daerah yang turun temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hubungan dengan usaha menangkal efek negatif globalisasi. Banyaknya bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh perkembangan zaman, cukup mempengaruhi pelestarian bahasa daerah yang merupakan budaya daerah dalam suatu daerah tertentu.
“Bahasa daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka pengembangan serta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia dan khazanah kebudayaan nasional sebagai salah satu unsur kepribadian bangsa. Oleh karena itu, bahasa daerah perlu terus dibina agar tetap menjadi ungkapan budaya masyarakat yang mendukung kebhinekaan budaya sebagai unsur kreativitas dan sumber kekuatan bangsa. Sejalan dengan itu perlu ditingkatkan penelitian, pengkajian dan pengembangan bahasa dan sastra daerah”.
Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman aturan tertinggi bagi kelakuan manusia, seperti aturan hukum di dalam masyarakat. Nilai budaya itu biasanya mendorong suatu pembangunan spiritual, seperti tahan cobaan, usaha dan kerja keras, toleransi terhadap pendirian atau kepercayaan orang lain, dan gotong royong.
Usaha menggali nilai sastra lisan bukan berarti menampilkan sifat kedaerahan, melainkan penelusuran terhadap unsur kebudayaan daerah yang perlu dilaksanakan karena sastra daerah merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi kesempurnaan keutuhan budaya nasional kita.
Sastra lisan sebagai produk budaya sarat dengan ajaran pendidikan bukan hanya berfungsi untuk menghibur, melainkan juga mengajar, terutama mengajarkan nilai-nilai yang terkait dengan kualitas manusia dan kemanusiaan.
Di samping itu, terkandung nilai budaya yang sifatnya universal di antaranya nilai keagamaan, nilai kesetiaan, nilai sosial, nilai historis, nilai moral, nilai pendidikan, nilai etika, dan nilai kepahlawanan. Sulawesi Tenggara adalah salah satu wilayah kepulauan yang memiliki penduduk yang majemuk dan beragam etnis. Kemajemukan dan keberagaman etnis masyarakatnya menjadikan wilayah ini kaya dengan sastra lisan.
Sastra lisan mengandung nilai-nilai budaya, tumbuh dan berkembang sejalan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya sehingga memegang peranan penting dalam pembentukan watak sosial masyarakat pendukungnya. Ketiga mayoritas etnis Sulawesi Tenggara yaitu Muna, Buton, dan Tolaki, memiliki kekayaan sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat termasuk nilai-nilai yang menjadi prinsip hidup masyarakatnya.
Sastra adalah sebuah dokumen sosial budaya yang mencatat kegiatan social budaya suatu masyarakat pada suatu masyarakat tertentu. Bagi banyak orang karya sastra mmenjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, baik secara tersirat maupun secara tersurat. Karya sastra juga dipakai untuk menggambarkan apa makna dalam pendekatan ekspresif. Karya sastra diibaratkan sebagai potret atau sketsa kehidupan. Namun, potret itu tentulah berbeda dengan cermin karena sebagai kreasi manusia. Di dalam sastra banyak terdapat pendapat dan pandangan penulisnya darimana dan bagaimana melihat kehidupannya. Saini K.M (1986: 19) mengemukakan bahwa sastra dapat membantu pembaca dapat menghayati kehidupan secara jelas, lebih mendalam, dan lebih kaya sebab sastra memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan penafsiran serta penilaian terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Karena itulah pengkajian dan penghayatan karya sastra merupakan salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pembinaan mental.
Sastra merupakan hal menarik dan menghibur dengan menampilkan keindahan dan memberikan makna pada kehidupan, daerah tolaki juga memiliki ciri khas dalam hal sastra daerah,misalnya sastra lisan.salah satu sastra lisan yang ada di daerah tolaki adalah i pado merupakan hal sakral bagi masyarakat yang masih meyakini.hal ini dikarenakan saat ini para generasi muda tidak lagi mempercayai hal itu.mereka telah beranggapan bahwasanya i pado hanyalah taktik orang tua untuk menakut-nakuti. Dengan demikian dalam penulisan proposal ini penulis mencoba memberikan gambaran mengenai i pado itu sendiri. Meskipun demikian, hingga saat ini keberadaan i pado masih tetap ada dalam masyarakat tolaki. Hal tersebut dikarenakan i pado merupakan landasan dasar bagi masyaraka tolaki dalam melakukan suatu aktifitas dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu dalam i pado banyak mengandung nilai-nilai yang erat hubungannya dengan masyarakat.misalnya nilai pendidikan,nilai moral,nilai sosial dan sebagainnya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis menyajikan nilai pendidikan pada i pado dalam masyarakat tolaki. Semoga dengan penulisan ini generasi muda khususnya masyarakat tolaki tidak lagi beranggapan bahwa i pado merupakan mitos belaka.
1. 2. Masalah
Berdasarkan latar berlakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimanakah nilai pendidikan pada i pado dalam masyarakat tolaki kecamatan tinanggea”?.
1. 3. Tujuan
Untuk mengetahui Nilai pendidikan pada i pado dalam masyarakat tolaki kecamatan t
inanggea
1. 4. Manfaat
Manfaat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut
1. Sebagai salah satu upaya dan pelestarian sastra daerah.
2. Sebagai bahan pembelajaran disekolah khusnya pada pembelajaran muatan lokal.
3. sebagai bahan bacaan bagi masyarakat yang memiliki jiwa kesastraan utamanya dalam sastra daerah.
4. sebagai sumbangan pemikiran pada masyarakat akan pentingnya i pado dalam kehidupan sehari-hari
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada Nilai Pendidikan pada i pado, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tolaki kecamatan tinanggea.
1.6 Definisi Operasional
1. I pado adalah suatu hal yang sakral bagi masyarakat tolaki pada umumnya yang masih meyakini kebedaan i pado tersebut.
2. Nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi perhatiannya.
3. Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan berpendidikan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Sastra
2.1.1 Unsur-Unsur Pembentuk Karya Sastra
Sebenarnya sangat sulit menjelaskan unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra. Namun, setidak-tidaknya hal itu dapat didekati dari dua sisi. Pertama kita lihat dari definisi-definisi yang telah diungkapkan. Dari definisi-definisi yang sudah ada, ada unsur-unsur yang selalu disinggung. Unsur-unsur tersebut dapat dipandang sebagai unsur-unsur yang dianggap sebagai pembentuk karya sastra.
Menurut Luxemburg (1992: 4-6) beberapa ciri yang selalu muncul dari definisi-definisi yang pernah diungkapkan antara lain :
a. Sastra merupakan ciptaan atau kreasi, bukan pertama-tama imitasi.
b. Sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), terlepas dari dunia nyata.
c. Sastra mempunyai ciri koherensi atau keselarasan antara bentuk dan isinya.
d. Sastra menghidangkan sintesa (jalan tengah) antara hal-hal yang saling bertentangan.
e. Sastra berusaha mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan.
Pendekatan kedua dapat dilihat dengan cara melihat bagaimana seorang juri atau editor mempertimbangkan mutu sebuah karya sastra.
Sumardjo dan Zaini KM (1988: 5-8) mengajukan sepuluh syarat karya sastra bermutu, yaitu
a. Karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya.
b. Sastra adalah komunikasi, artinya bisa dipahami oleh orang lain.
c. Sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-kaidah seni.
d. Sastra adalah penghiburan, artinya mampu memberi rasa puas atau rasa senang pada pembaca.
e. Sastra adalah sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya.
f. Sebuah karya sastra yang bermutu merupakan penemuan.
g. Karya yang bermutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya.
h. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat, artinya padat isi dan bentuk, bahasa dan ekspresi.
i. Karya sastra yang bermutu merupakan (hasil) penafsiran kehidupan.
j. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah pembaharuan.
Berbeda dengan Sumardjo dan Zaini KM, Luxemburg berpendapat bahwa :
a. Karya sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun untuk tujuan komunikasi praktis dan sementara waktu.
b. Karya sastra adalah teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas.
c. Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut.
d. Bahannya diolah secara istimewa.
e. Karya sastra dapat kita baca menurut tahap-atahp arti yang berbeda-beda.
f. Karena sifat rekaannya sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugak kita untuk langsung bertindak.
g. Sambil membaca karya sastra tersebut kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh atau dengan orang-orang lain.
h. Bahasa sastra dan pengolahan bahan lewaat sastra dapat membuka batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru.
i. Bahasa dan sarana-sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri.
j. Sastra sering digunakan untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam masyarakat.
2.1.2 Pengertian Kesusastraan
Kesusastraan berasal dari bahasa Sanskerta sastra yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman". Dalam bahasa Indonesia, kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Kesusastraan juga didefinisikan sebagai ilmu atau pengetahuan tentang segala hal yang bertalian dengan susastra. Kesusastraan di Indonesia terbagi dalam dua zaman. Zaman kesusastraan lama dan zaman kesusastraan baru, masing-masing karya memiliki ciri khas tersendiri.
Parsons (dalam wahid, 2004 : 153) mengatakan bahwa sastra adalah sebuah pola tindakan komunikasi,kolektif, ekspresif, dan bersifat instrumental ataupun menjadi lembaga primer dalam suatu lingkungan subkultural tertentu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semua ahli sastra mengakui bahwa mustahil untuk memberikan defenisi mengenai sastra yang berlaku untuk semua lingkungan kebudayaan dan semua zaman.
Kesusastraan adalah mengungkapkan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai mediumnya dan memiliki aspek positif terhadap kehidupan manusia.
2.1.3 Sastra Lama
Karya sastra lama lahir dalam masyarakat lama pada zamannya. Masyarakat pada waktu itu masih memegang adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama.
Karya sastra merupakan hasil cipta rasa manusia. Karya sastra lahir dari ekspresi jiwa seorang pengarang. Suatu hasil karya dikatakan memiliki nilai sastra jika isinya dapat menimbulkan perasaan haru, menggugah, kagum, dan mendapat tempat di hati pembacanya. Karya sastra seperti itu dapat dikatakan sebagai karya sastra yang adiluhung, yaitu karya yang dapat menembus ruang dan waktu. Karya sastra lama atau klasik lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat dan lain-lain. Karya-karya kesusastraan lama sangat dipengarui oleh muatan lokal berupa adat istiadat dan budaya yang berlaku pada zamannya.
2.1.4 Sastra Lisan
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di masyarakat dari pada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita pada para pendengarnya, guru pada para muridnya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa. Sastra lisan ini dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi dan upacara yang magi Sastra lisan sangat digemari oleh warga masyarakat dan biasanya didengarkan bersama-sama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran dan harapan masyarakat. Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari sastra lisan berdampak positif pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat. Dalam konteks ini, bisa dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki fungsi sosial, disamping fungsi individual. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa memudarnya tradisi sastra lisan di masyarakat merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka, dan sebaliknya. Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak dibanding dengan sastra tulis. Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa, nyanyi panjang, dodoi, koba dll. Gurindam, dongeng, legenda dan syair pada awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun, perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan di istana–istana Melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis. Sehingga gurindam, dongeng, legenda dan syair berkembang menjadi bagian dari tradisi tulis. Tampaknya, ini adalah bagian dari wujud interaksi positif antara sastra lisan dan tulisan. Dalam portal ini, berbagai jenis sastra lisan dibahas secara lebih rinci. Sastra lisan merupakan karya sastra yang diucapakan dan disampaikan secara lisan dengan mulut, baik dalam pertunjukan maupun luarnya (Hutomo, 1983: 2). Atmazaki (1986: 82) berpendapat bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut) oleh seorang penderita atau penyair kepada sese
orang atau kelompok pendengar. 2.2. Pengertian Nilai Dan Pendidikan. 2.2.1 Pengertian Nilai Tidak mudah untuk mendifinisikan tentang nilai, namun paling tidak pada tataran praxis nilai dapat disebut sebagai sesuatu yang menarik, dicari , menyenangkan, diinginkan dan disukai dalam pengertian yang baik atau berkonotasi positif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi perhatiannya. Sebagai standar perilaku, tentunya nilai menuntut seseorang untuk melakukannya seperti telah diungkap Konsekuensi dari pemahaman akan nilai seperti diutarakan di atas, menjadikan nilai itu secara praktis sebagai standar perilaku yang menjadikan orang berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang telah diyakininya, sekalipun pada sebagian orang ditemukan kurang dalam pengertian tidak selamanya menyadari nilai yang dimilikinya, sehingga menjadikannya terperosok pada perilaku yang berseberangan dengan prespektif nilai. 2.2.2 Pengertian Pendidikan Pendidikan berasal dari kata pedagogi (paedagogie, Bahasa Latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogia (paedagogik) yang berarti ilmu pendidikan yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ (anak, pen) dan ‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, memimpin anak. Sedangkan paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang (pemuda, pen) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa, pen) ke dan dari sekolah. Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab. Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan berpendidikan.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974: 23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi dan membolos misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan. Karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.Banyak rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:
a. John Dewey : pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional sesama manusia.
b. JJ. Rouseau : Pendidikan merupakan pemberian bekal kepada kita apa yang tidak kita butuhkan pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita butuhkan pada saat dewasa.
c. M. J. Langeveld : Pendidikan merupkan setiap usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Menurut Langeveld pendidikan hanya berlangsung dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah dewasa (atau yang diciptakan orang dewasa seperti : sekolah, buku model dan sebagainya) dengan orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
d. John S. Brubacher : Pendidikan merupakan proses timbal balik dari tiap individu manusia dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta.
e. Kingsley Price mengemukakan: Education is the process by which the nonphysical possessions of culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults. (Pendidikan adalah proses yang berbentuk non pisik dari unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa).
f. Mortimer J. Adler : Pendidikan adalah proses dimana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.
Defenisi di atas dapat dibuktikan kebenarannya oleh filsafat pendidikan, terutama yang menyangkut permasalahan hidup manusia, dengan kemampuan-kemampuan asli dan yang diperoleh atau tentang bagaimana proses mempengaruhi perkembangannya harus dilakukan. Suatu pandangan atau pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan objek pembahasan menjadi pola dasar yang memberi corak berpikir ahli pikir yang bersangkutan. Bahkan arahnya pun dapat dikenali juga.
Dari berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa dikalangan pakar pendidikan sendiri masih terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan ahli pendidikan itu dan kondisi pendidikan yang diperbincangkan saat itu, yang semuanya memiliki perbedaan karakter dan permasalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju terbentuknva kepribadian dan aólaq mulia dengan menggunakan media dan metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
2.2.3 Hubungan Seni Dan Nilai Pendidikan
Sejarah persoalan tentang relasi seni dan nilai-nilai pendidikan telah berlaku panjang. Masalah ini tak hanya mencakup soal bagaimana ‘penilaian pendidikan berlaku bagi seni’ atau karya seni, tetapi juga berlakunya persoalan ‘penilaian pendidikan seni’.
Dalam tradisi padangan estetik yang berlaku hingga kini, terdapat dua kutub yang sering diposisikan sebagai sikap yang bertentangan. Terutama melalui perkembangan prinsip-prinsip seni dan penciptaan seni yang kemudian dianggap memiliki sikap otonom, maka berkembang kepercayaan bahwa penilaian pendidikan tentang seni berlaku terpisah dengan penilaian pendidikan tentang pengalaman dan prektek kehidupan.
Seni dianggap memiliki wilayah pendidikan secara tersendiri, dan hanya bisa diuji melalui caranya sendiri secara khas. Pandangan ini disebut sebagai sikap nominalisme didukung kaum‘nominalis yang berkembang terutama seiring dengan pertumbuhan prinsip-prinsip modernisme dalam seni. Pandang yang lebih tradisional disebut sebagai sikap utopisme dan kaum utopis menganggap bahwa pendidikan seni justru berkaitan dengan perkembangan nilai-nilai dalam pengalaman hidup. Kedua pandangan ini sebenarnya memiliki titik pijakan yang sama, yang berusaha menempatkan posisi penting seni dam pendidikan dalam peningkatan kesadaran manusia tentang nilai-nilai hidup.
Dalam perkembangan seni hingga saat itu, kedua pandangan itu tak lagi dilihat sebagai dua kutub yang seolah berbeda sama sekali dan tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya, selain justru sebagai aspek-aspek dualitas yang saling memperkaya makna kesatuannya.
Pada hubungan seni dan pendidikan, sebenarnya terdapat aspek lain yang turut memperkaya pembicaraan tentang kaitan diantara keduanya, yaitu: kebebasan. Baik kaum nominalis maupun utopis sama-sama mensyaratkan pembicaraan tentang kebebasan. Kaum utopis percaya bahwa seni berkaitan dengan ontologi fiksi dan representasi, dengan demikian maka seni dan karya seni dianggap memiliki kapasitas untuk menunjukkan bahwa dunia dan
segala pengalaman hidup itu bisa berlaku sebagai hal yang terjadi sebaliknya, atau: lebih baik. Maka seni dan ekspresi seni dianggap berlaku sebagai unsur yang akan mampu menghidupkan imajinasi setiap orang tentang nilai-nilai pendidikan, dengan demikian seni berlaku membebaskan [beban] seseorang yang tumbuh dari pengalaman hidupnya. Bagi kaum nominalis, cara menghidupkan kebebasan imajinasi seni secara khusus dan khas yang paling mendapatkan perhatian. Imajinasi estetis tak hanya menggerakan kebebasan para seniman menyatakan representasi tentang nilai-nilai pendidikan, tetapi juga menghidupkan kebebasan pihak yang menanggapi nilai-nilai pendidikan melalui karya seni tersebut.Tentu saja, ihwal kebebasan estetis ini berlaku sebagai nilai pengalaman yang khusus, yang memisahkan pengalaman dan praktek hidup yang langsung dengan nilai-nilai pencapaian yang ditempuh melalui seni dan ekspresi seni. Kaum nominalis mendukung pentingnya aspek imajinasi estetik ini sebagai pra-kondisi penting bagi penilaian pendidikan dan sikap otonom yang bersifat politis.
Dalam kurun perkembangan seni hingga masa kini, termasuk juga berlangsung di Indonesia, kedua cara pandang itu telah menjadi warisan sikap yang berlaku saling terpaut. Segi-segi sikap tertentu yang tumbuh dari masing-masing cara pandangan tersebut kini telah berlaku campur, dan tidak seluruhnya terjelaskan secara tegas dan ketat.
Berkembangnya persepsi tentang seni dan pendidikan, juga kaitan diantara keduanya, dalam berbagai manifestasi karya seni menunjukkan bahwa kedua merupakan implementasi dari sikap-sikap yang berlaku kultural. Persepsi tentang nilai-nilai seni, pendidikan dan kebebasan berlaku dalam berbagai varian praktek kultural yang berbeda-beda, keseluruhannya bercampur serta mengandung kerangka hidup nilai-nilai yang berlaku secara umum sekaligus juga khusus; universal juga personal; global tapi juga lokal. Namun demikian, setidaknya, pengamatan terhadap sensitivitas ekpresi seni yang menunjukkan persepsi umum yang menyatakan anggapan bahwa seni, sepanjang seseorang menganggapnya penting, akan selalu berlaku pada sisi nilai-nilai kebebasan.
Kebebasan pendidikan dan kebebasan seni merupakan dua pokok yang tak lagi bisa dianggap terpisah secara, sebagaimana halnya kita maklum bahwa bagaimanapun seni susah untuk bisa dipisahkan dari berbagai manifestasi nilai dan praksis hidup.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari setiap orang tentu akan memiliki apa yang disebut sebagai alasan bagi tindakan keseharian (every day reasoning), menyangkut pengetahuan kita tentang bahasa keseharian serta berbagai makna dari asosiasi verbalnya. Alasan-alasan tersebut tentu bersifat kultural, dikumpulkan serta berlaku sebagai hasil dari pengalaman keseharian aktivitas sosial dan berbagai perhitungan tentangnya. Diantara alasan bagi tindakan keseharian tersebut juga berlaku alasan-alasan pendidikan (moral reasoning), sebagai praksis yang mendapatkan dasar pembenarannya dari sumber-sumber kepercayaan nilai yang dipahami setiap orang. Pada prakteknya, praksis pendidikan ini berlaku sebagai keputusan yang secara terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Seni mengajarkan makna kebebasan untuk menyatakan pilihan tersebut.
Dalam perkembangan praktek seni rupa Indonesia sumber-sumber rujukan pendidikan terutama berasal dari kepercayaan-kepercayaan agama dan budaya, melalui berbagai media narasi dan bentuk-bentuk simbolik yang mewakilinya. Seiring kemajuan modernitas Indonesia, muncul dan berkembang berbagai narasi lain kemudian jadi rujukan pendidikan, selain narasi yang telah jadi Tradisi. Narasi-narasi lain ini tak hanya bersumber pada keyakinan religi dan keyakinan budaya lokal saja, tetapi juga merujuk pada kelangsungan tata nilai yang besifat global-muncul sebagai isu-isu mengenai, misalnya: keseimbangan ekosistem dunia, perdamaian dunia, keadilan sosial, gaya hidup global, mitologi peradaban manusia.
Dalam implementasinya, berbagai rujukan tersebut bercampur dan berinteraksi. Dalam manifestasi karya-karya seni, relasi seni dan pendidikan dinyatakan dalam tiga strategi atau cara penyampaian, yaitu: (a) pernyataan tentang nilai-nilai keutaman dan kebaikan (goodness) hidup (b) pernyataan melalui humor dan (c) pernyataan yang mempertanyakan serta penyampaikan kritik.
Nilai-nilai keutamaan dan kebaikan adalah manifestasi yang berlaku umum di Indonesia menyatakan soal keyakinan hidup seseorang tentang makna kehidupan yang semestinya dijalani setiap orang. Representasi karya-karya dalam cara ini menyampaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, persoalan pendidikan sebagai arah rujukan makna-makna yang bisa digali pada karya-karya yang dikerjakan oleh para seniman. Asumsi yang mendasari pengerjaan karya-karya ini menempatkan alasan atau jawaban pendidikan tertentu sebagai landasasan penggalian makna-makna dari persoalan yang menjadi daya tarik maupun tantangan bagi para seniman untuk dihadapi
BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
2.3 Metode Dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif kualitatif. Dengan demikian dalam penelitian ini, penulis memaparkan nilai-nilai i pado dalam masyarakat tolaki, kecamatan tinanggea sebagaimana mestinya. Dalam pemaparan ini penulis tidak menggunakan angka-angka statistic, melainkan dengan menghubungkan ide atau gejala yang satu dengan yang lain.
Ditinjau dari segi data dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan. Peneliti terlibat langsung dilapangan dalam pengumpulan keseluruhan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Jenis penelitian ini sangat sesuai dengan penggunaan metode deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 1993: 8 )
3.2 Data Dan Sumber Data
3.2.1 Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah data yang berupa bahasa lisan yang berupa tuturan-tuturan yang dituturkan langsung oleh orang tua terdahulu yang mengetahui dan memahami secara detail mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam i pado
3.2.2 Sumber Data
Data dalam penulisan proposal ini bersumber dari informan, yaitu masyarakat asli daerah tolaki. Dalam menentukan informan peneliti menentukan criteria sebagai berikut :
a. Penduduk serta penutur asli bahasa tolaki.
b. Masyarakat tolaki yang masih meyakini kebenaran i pado dalam kehidupannya.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tekni wawancara, rekam dan teknik simak catat. Hal ini dilakukan untuk memperkuat bukti bahwa data yang ada sesuai dengan kenyataan dilapangan.
1. Wawancara yaitu kegiatan awal atau percakapan yang dilakukan sebelum merekam data pembicaraan dari informan
2. Teknik rekam yaitu pemerolehan data dengan cara merekan pembicaraan informan yang sengaja dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang falit.
3. Teknik simak catat yaitu teknik yang dilakukan guna memperoleh data dengan cara memperhatikan, kemudian mencatat pembicaraan atau informasi dari informan sebagai data dalam penelitian.
3.4 Teknik Analisis Data
Dari data yang terkumpul dalam bentuk wawancara, rekam dan simak catat kegiatan selanjutnya guna melakukan transkripsi yaitu memindahkan dengan menyalin data lisan menjadi data tertulis dengan menggunakan huruf latin.
Setelah data ditranskripsi menjadi data tulis, Data kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk proses analisis. Terjemahan dilakukan secara bebas dengan menyesuaikan arti dan makna yang sesuai dan dimengerti dari data tersebut.
MENURUT PARA AHLI PERBEDAN ANTAR KUALITATIF DAN KUANTITATIF
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miler (1986: 9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas.
Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yng menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasil kan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.
Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan (Hadjar, 1996 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002: 2).
Pendekatan kuantitatif lebih menitik beratkan pada frekwensi tinggi sedangkan pada pendekatan kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik dan dapat digeneralisasi sedangkan hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miler (1986: 9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas.
Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yng menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasil kan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.
Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan (Hadjar, 1996 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002: 2).
Pendekatan kuantitatif lebih menitik beratkan pada frekwensi tinggi sedangkan pada pendekatan kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik dan dapat digeneralisasi sedangkan hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi
PUISI LAMA DLL
Puisi lama adalah puisi yang banyak terikat oleh aturan-aturan. Aturan-aturan itu antara lain:
1. Jumlah baris dalam 1 bait,
2. Jumlah kata dalam 1 baris,
3. Persajakan (rima),
4. Banyaknya suku kata tiap baris,
5. Irama.
Ciri-ciri puisi lama antara lain:
• Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
• Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
• Sangat terikat oleh atura-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun irama.
1. Yang termasuk puisi lama adalah:
1. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Mantra merupakan puisi tua, keberadaannya dalam masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan adat dan kepercayaan.
Cirri-ciri mantra, yaitu:
• Berirama akhiran abc-abc,abcd-abcd, abcde-abcde.
• Bersifat lisan, sakti atau magis.
• Adanya perulangan.
• Metafora merupakan unsur penting.
• Bersifat esoferik (bahasa khusus antra pembicara dan lawan bicara) dan misterius.
Contoh:
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir semayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
2. Pantun adalah puisi Melayu asli yang cukup mengakar dan membudaya dalam masyarakat. Pantun merupakan puisi yang bercirikan bersajak a-ba-b, tiap bait terdiri 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama atau nasihat, teka-teki, jenaka.
Cirri-ciri pantun, yaitu:
• Setiap bait terdiri atas empat baris.
• Setiap baris terdiri dari 4 kata (8 sampai 12 suku kata).
• Rimanya a b a b atau bersajak silang.
• Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Contoh:
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati
3. Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
Cirri-ciri karmina, yaitu:
• Setiap bait merupakan bagian dari keseluruhan.
• Bersajak aa-aa, aa-bb.
• Tidak memiliki sampiran, hanya memiliki isi.
• Semua baris diawali huruf kapital
• Semua baris diakhiri koma, kecuali baris ke-4 diakhiri tanda titik.
Contoh:
Dahulu parang, sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (a)
4. Seloka adalah pantun berkait yang tidak cukup dengan satu bait saja sebab pantun berkait merupakan jalinan atas beberapa bait.
Cirri-ciri seloka, yaitu:
• Ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair,
• Namun ada seloka yang ditulis lebih dari empat baris,
Contoh:
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hari tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan
5. Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
Cirri-ciri gurindam, yaitu:
• Terdiri atas dua baris.
• Berima akhir a a.
• Baris pertama merupakan syarat, baris kedua berisi akibat dari apa yang disebut pada baris pertama.
• Kebanyakan isinya mengenai nasihat dan sindiran.
Contoh:
Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)
Barang siapa tinggalkan sembahyang (b)
Bagai rumah tiada bertiang (b)
Jika suami tiada berhati lurus (c)
Istri pun kelak menjadi kurus (c)
6. Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
Cirri-ciri syair, yaitu:
• Setiap bait terdiri dari empat baris.
• Setiap baris terdiri atas 3-4 kata.
• Rimanya a a a a atau bersajak lurus.
• Tidak ada sampiran, semua merupakan isi syair.
• Isi syair merupakan kisah atau cerita.
Contoh:
Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah cerita (a)
Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)
7. Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6,8 ataupun 10 baris. Talibun merupakan pantun yang jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya. Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi. Jika satiu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi. Jadi : Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c. Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d.
Cirri-ciri talibun, yaitu:
• Jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya, 6,8,10 dan seterusnya.
• Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
• Apabila enam baris sajaknya a-b-c-a-b-c.
• Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a-b-c-d-a-b-c-d
Contoh:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari isi
Induk semang cari dahulu
8. Bidal adalah jenis puisi lama yang menggunakan bahasa kiasan untuk menggambarkan perasaan secara tidak langsung, sehingga orang lain yang mendengarkan harus mendalami dan meresapi arti serta maksudnya. Yang termaksud bidal adalah:
1. Peribahasa atau ungkapan, yakni kiasan yang dilahirkan dengan pendek dan singkat. Contohnya:
- Bagai ikan pulang ke lubuk.
Artinya: orang yang pulang ke tempat asal.
- Bak cendawan tumbuh selepas hujan.
Artinya: terlalu banyak pada sesuatu masa.
- Bara yang digenggam biar sampai jadi arang.
Artinya: mengerjakan sesuatu yang sukar hendaklah sabar, sehingga mencapai kejayaan.
2. Pepatah, yakni kiasan tepat yang dipakai guna menyatakan sesuatu dengan pendek serta dalam bentuk kalimat. Contohnya:
– Buruk muka cermin dibelah.
– Anjing menyalak takkan menggigit.
– Besar bungkus tak berisi.
3. Tamsil, yakni kiasan yang bersajak dan berirama. Contohnya:
– Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.
– Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.
– Dekat kabut mata tertutup, dekat maut maaf tertutup.
4. Perumpamaan, yakni kiasan yang berupa kalimat dan dipergunakan untuk mengumpamakan seseorang. Contohnya:
– Soraknya seperti gunung runtuh.
– Wajahnya laksana bulan kesiangan.
– Seperti mendapat durian runtuh.
5. Ibarat, yakni perumpamaan yang menyatakan sesuatu dengan sejelas-jelasnya dengan mengambil perbandingan. Contohnya:
– Hendaklah seperti tembikar, pecah satu pecah semua.
– Ibarat bunga, segar dipakai layu dibuang.
– Bagai anak ayam kehilangan induk, selalu saja dalam kebingungan
6. Kata Arif atau Hadits Melayu, yakni kiasan yang merupakan kata-kata atau kalimat-kalimat mutiara.
7. Pemeo, yakni kalimat pendek yang ada pada waktu banyak dipergunakan sebagai semboyan. Contohnya:
– Sekali merdeka, tetap merdeka!
– Maju terus, pantang mundur!
– Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!
Cirri-ciri bidal, yaitu:
Bahasa berkiasan
Sebagai lambang suatu perbuatan
Kiasan yang berima atau bersajak
Contoh bidal:
1)Buruk muka cermin dibelah
2)Anjing menyalak takkan menggigit
3)Soraknya seperti gunung runtuh
9. 1. Sajak berasal dari bahasa Arab “saj” yang bermaksud karangan puisi .
2. Sebagai puisi modern .
3. Bentuknya bebas daripada puisi dan syair.
4. Pemilihan kata-kata yang indah (sesuai dengan mesej dan nada puisi).
5. Robert C. Pooley pernah menyatakan bahwa "orang yang menutup telinga terhadap sajak akan terpencil daripada satu wilayah yang penuh harta kekayaan berupa pengertian tentang manusia".
6. Gerson Poyk berpendapat: "Dunia ini sebenarnya absurd sehingga manusia tidak dapat mengerti akan dunia ini sepenuhnya dan tugas penyair tentunya berusaha menggali rahasia kehidupan yang penuh misteri ke dalam bait sajak mereka.
7. Menurut H.B. Jassin, sajak itu adalah suara hati penyairnya, sajak lahir dari pada jiwa dan perasaan tetapi sajak yang baik bukanlah hanya permainan kata semata-mata. Sajak yang baik membawa gagasan serta pemikiran yang dapat menjadi renungan masyarakat.
8. Abdul Hadi W.M. menjelaskan. Katanya lagi, "dalam sajak terdapat tanggapan terhadap hidup secara batiniah". Oleh itu bagi beliau, di dalam sajak harus ada gagasan dan keyakinan penyair terhadap kehidupan, atau lebih tepat lagi, nilai kemanusiaan.
Cirri-ciri sajak, yaitu:
1. Tema
Tema merupakan persoalan utama yang hendak disampaikan dalam sajak, contohnya tema kemanusiaan, kasih sayng dan cinta akan negara.
2. Persoalan
Persoalan pula merupakan perkara sampingan yang hendak disampaikan. Misalnya, sebuah sajak akan menyelitkan persoalan kasih sayang, kemarahan, dan kekecewaan dalam sajak tersebut.
3. Bentuk
Jenis bentuk, bilangan rangkap, jumlah baris, jumlah suku kata dalam baris, jumlah perkataan dalam baris dan rima akhir setiap baris.
4. Gaya bahasa
1. Perbandingan
a. Metafora
Perbandingan yang tidak jelas. Penggunaannya secara langsung tanpa menggunakan perkataan seperti, bak, umpama.
b. Hiperbola
Gaya bahasa yang keterlaluan. Biasanya digunakan untuk memberi penekanan maksudnya berhubung dengan perasaan dan suasana.
c. Personifikasi
Benda yang tidak hidup, peristiwa atau keadaandiberi perbandingan dengan manusia.
d. Simile
Membandingkan sesuatu keadaan, suasana, peristiwa diberi perbandingan dengan manusia.
2. Penggunaan ayat
Inversi – Gaya bahasa yang menyongsangkan ayat.
3. Pengulangan
Anafora / Epifora / Simplok
Memperlihatkan aspek pengulangan perkataan dalam setiap perkataan di awal ayat (anafora), tengah ayat (simplok), dan akhir ayat (epifora).
4. Unsur bunyi
Asonansi – pengulangan bunyi vokal (a, e, i, o, u)
Aliterasi – pengulangan bunyi konsonan
5. Nada
Nada Melankolik – menggambarkan suasana sedih
Nada Patriotik – menggambarkan penuh perasaan
Nada Sinis – menggambarkan perasaan kurang senang
Nada Protes – menggambarkan perasaan menentang
Nada Romantik – menggambarkan persaan yang tenang
Contoh sajak:
Pengemis Kota
Dari mana anak itu?
hati keras bicara sayu
merentas buih-buih hati keras
minta seteguk ihsan unggas kota
dihulur sejadah ikhlas selaut impian
agar kocek kosong rasa nikmat.
Wanita itu sujud di kaki lima
bekas kosong lagu sunyi
menanti hujan emas segunung rasa
untuk anak kecil di dangau usang
terus bermimpi.
Lelaki kaki kayu
lompat di dahan palsu tidak jemu
minta dipeluk dalam sesaat
pada bajingan kota mulut celupar
mulut manis mengucap syukur
bila tangan mulia hulur salam.
Bila aku raba mereka hilang
dirantai gergasi biru
dibawa ke tembok bisu
agar kota bebas meredeka.
Nas Nasuha,
Skudai, Johor.
2. Persamaan dan Perbedaan Jenis Puisi Lama
a. Persamaan dan Perbedaan Karmina, Distikon, dan Gurindam.
Persamaan : Sama-sama dua baris dalam satu bait.
Perbedaan :
Karmina :
baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua merupakan isi. contoh :
dahulu karang sekarang besi, dahulu sayang sekarang benci.
Distikon :
lebih mementingkan isi di samping irama, tidak terikat (bebas). contoh :
berkali kita tinggal,ulangi lagi dan cari akal.
Gurindam :
baris pertama merupakan sebab atau persoalan sedangkan baris kedua merupakan akibat atau penyelesaian. contoh : kurang pikir kurang siasat,tentu dirimu akan sesat.
b. Persamaan dan Perbedaan antara Pantun dari Syair.
Persamaan :
keduanya mempunym baris yang sama dalam satu bait, yaitu 4 baris.
Perbedaan :
sajak akhir berirama ab-ab pada pantun dan aa-aa pada syair. Pantun berisi sampiran dan isi sedangkan syair merupakan rangkaian cerita.
Persamaan dan Perbedaan antara Pantun dan Soneta.
Persamaan :
oktaf (8 baris pertama) pada soneta melukiskan alam sama halnya sampiran pada pantun, dan sektet (6 baris terakhir) merupakan kesimpulan dari oktaf, sama halnya dengan isi pada pantun. Peralihan dari oktaf ke sektet dalam soneta disebut volta.
Perbedaan :
terletak dari rumus sajak akhir, soneta rumus persajakan akhirnya masing-masing abba-abba-cdc-dcd sedangkan pantun ab-ab, dan tentu saja jumlah baris pada soneta 14 baris, terdiri dari 4 bait yakni dua buah kuatrain yang disebut oktaf dan dua buah terzina yang disebut sektet, sedangkan pantun hanya 4 baris. Pantun mewakili kesusastraan puisi lama sedangkam soneta mewakili kesusastramn puisi baru.
Puisi lama adalah puisi yang banyak terikat oleh aturan-aturan. Aturan-aturan itu antara lain:
1. Jumlah baris dalam 1 bait,
2. Jumlah kata dalam 1 baris,
3. Persajakan (rima),
4. Banyaknya suku kata tiap baris,
5. Irama.
Ciri-ciri puisi lama antara lain:
• Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
• Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
• Sangat terikat oleh atura-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun irama.
1. Yang termasuk puisi lama adalah:
1. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Mantra merupakan puisi tua, keberadaannya dalam masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan adat dan kepercayaan.
Cirri-ciri mantra, yaitu:
• Berirama akhiran abc-abc,abcd-abcd, abcde-abcde.
• Bersifat lisan, sakti atau magis.
• Adanya perulangan.
• Metafora merupakan unsur penting.
• Bersifat esoferik (bahasa khusus antra pembicara dan lawan bicara) dan misterius.
Contoh:
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir semayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
2. Pantun adalah puisi Melayu asli yang cukup mengakar dan membudaya dalam masyarakat. Pantun merupakan puisi yang bercirikan bersajak a-ba-b, tiap bait terdiri 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama atau nasihat, teka-teki, jenaka.
Cirri-ciri pantun, yaitu:
• Setiap bait terdiri atas empat baris.
• Setiap baris terdiri dari 4 kata (8 sampai 12 suku kata).
• Rimanya a b a b atau bersajak silang.
• Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Contoh:
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati
3. Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
Cirri-ciri karmina, yaitu:
• Setiap bait merupakan bagian dari keseluruhan.
• Bersajak aa-aa, aa-bb.
• Tidak memiliki sampiran, hanya memiliki isi.
• Semua baris diawali huruf kapital
• Semua baris diakhiri koma, kecuali baris ke-4 diakhiri tanda titik.
Contoh:
Dahulu parang, sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (a)
4. Seloka adalah pantun berkait yang tidak cukup dengan satu bait saja sebab pantun berkait merupakan jalinan atas beberapa bait.
Cirri-ciri seloka, yaitu:
• Ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair,
• Namun ada seloka yang ditulis lebih dari empat baris,
Contoh:
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hari tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan
5. Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
Cirri-ciri gurindam, yaitu:
• Terdiri atas dua baris.
• Berima akhir a a.
• Baris pertama merupakan syarat, baris kedua berisi akibat dari apa yang disebut pada baris pertama.
• Kebanyakan isinya mengenai nasihat dan sindiran.
Contoh:
Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)
Barang siapa tinggalkan sembahyang (b)
Bagai rumah tiada bertiang (b)
Jika suami tiada berhati lurus (c)
Istri pun kelak menjadi kurus (c)
6. Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
Cirri-ciri syair, yaitu:
• Setiap bait terdiri dari empat baris.
• Setiap baris terdiri atas 3-4 kata.
• Rimanya a a a a atau bersajak lurus.
• Tidak ada sampiran, semua merupakan isi syair.
• Isi syair merupakan kisah atau cerita.
Contoh:
Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah cerita (a)
Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)
7. Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6,8 ataupun 10 baris. Talibun merupakan pantun yang jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya. Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi. Jika satiu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi. Jadi : Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c. Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d.
Cirri-ciri talibun, yaitu:
• Jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya, 6,8,10 dan seterusnya.
• Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
• Apabila enam baris sajaknya a-b-c-a-b-c.
• Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a-b-c-d-a-b-c-d
Contoh:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari isi
Induk semang cari dahulu
8. Bidal adalah jenis puisi lama yang menggunakan bahasa kiasan untuk menggambarkan perasaan secara tidak langsung, sehingga orang lain yang mendengarkan harus mendalami dan meresapi arti serta maksudnya. Yang termaksud bidal adalah:
1. Peribahasa atau ungkapan, yakni kiasan yang dilahirkan dengan pendek dan singkat. Contohnya:
- Bagai ikan pulang ke lubuk.
Artinya: orang yang pulang ke tempat asal.
- Bak cendawan tumbuh selepas hujan.
Artinya: terlalu banyak pada sesuatu masa.
- Bara yang digenggam biar sampai jadi arang.
Artinya: mengerjakan sesuatu yang sukar hendaklah sabar, sehingga mencapai kejayaan.
2. Pepatah, yakni kiasan tepat yang dipakai guna menyatakan sesuatu dengan pendek serta dalam bentuk kalimat. Contohnya:
– Buruk muka cermin dibelah.
– Anjing menyalak takkan menggigit.
– Besar bungkus tak berisi.
3. Tamsil, yakni kiasan yang bersajak dan berirama. Contohnya:
– Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.
– Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.
– Dekat kabut mata tertutup, dekat maut maaf tertutup.
4. Perumpamaan, yakni kiasan yang berupa kalimat dan dipergunakan untuk mengumpamakan seseorang. Contohnya:
– Soraknya seperti gunung runtuh.
– Wajahnya laksana bulan kesiangan.
– Seperti mendapat durian runtuh.
5. Ibarat, yakni perumpamaan yang menyatakan sesuatu dengan sejelas-jelasnya dengan mengambil perbandingan. Contohnya:
– Hendaklah seperti tembikar, pecah satu pecah semua.
– Ibarat bunga, segar dipakai layu dibuang.
– Bagai anak ayam kehilangan induk, selalu saja dalam kebingungan
6. Kata Arif atau Hadits Melayu, yakni kiasan yang merupakan kata-kata atau kalimat-kalimat mutiara.
7. Pemeo, yakni kalimat pendek yang ada pada waktu banyak dipergunakan sebagai semboyan. Contohnya:
– Sekali merdeka, tetap merdeka!
– Maju terus, pantang mundur!
– Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!
Cirri-ciri bidal, yaitu:
Bahasa berkiasan
Sebagai lambang suatu perbuatan
Kiasan yang berima atau bersajak
Contoh bidal:
1)Buruk muka cermin dibelah
2)Anjing menyalak takkan menggigit
3)Soraknya seperti gunung runtuh
9. 1. Sajak berasal dari bahasa Arab “saj” yang bermaksud karangan puisi .
2. Sebagai puisi modern .
3. Bentuknya bebas daripada puisi dan syair.
4. Pemilihan kata-kata yang indah (sesuai dengan mesej dan nada puisi).
5. Robert C. Pooley pernah menyatakan bahwa "orang yang menutup telinga terhadap sajak akan terpencil daripada satu wilayah yang penuh harta kekayaan berupa pengertian tentang manusia".
6. Gerson Poyk berpendapat: "Dunia ini sebenarnya absurd sehingga manusia tidak dapat mengerti akan dunia ini sepenuhnya dan tugas penyair tentunya berusaha menggali rahasia kehidupan yang penuh misteri ke dalam bait sajak mereka.
7. Menurut H.B. Jassin, sajak itu adalah suara hati penyairnya, sajak lahir dari pada jiwa dan perasaan tetapi sajak yang baik bukanlah hanya permainan kata semata-mata. Sajak yang baik membawa gagasan serta pemikiran yang dapat menjadi renungan masyarakat.
8. Abdul Hadi W.M. menjelaskan. Katanya lagi, "dalam sajak terdapat tanggapan terhadap hidup secara batiniah". Oleh itu bagi beliau, di dalam sajak harus ada gagasan dan keyakinan penyair terhadap kehidupan, atau lebih tepat lagi, nilai kemanusiaan.
Cirri-ciri sajak, yaitu:
1. Tema
Tema merupakan persoalan utama yang hendak disampaikan dalam sajak, contohnya tema kemanusiaan, kasih sayng dan cinta akan negara.
2. Persoalan
Persoalan pula merupakan perkara sampingan yang hendak disampaikan. Misalnya, sebuah sajak akan menyelitkan persoalan kasih sayang, kemarahan, dan kekecewaan dalam sajak tersebut.
3. Bentuk
Jenis bentuk, bilangan rangkap, jumlah baris, jumlah suku kata dalam baris, jumlah perkataan dalam baris dan rima akhir setiap baris.
4. Gaya bahasa
1. Perbandingan
a. Metafora
Perbandingan yang tidak jelas. Penggunaannya secara langsung tanpa menggunakan perkataan seperti, bak, umpama.
b. Hiperbola
Gaya bahasa yang keterlaluan. Biasanya digunakan untuk memberi penekanan maksudnya berhubung dengan perasaan dan suasana.
c. Personifikasi
Benda yang tidak hidup, peristiwa atau keadaandiberi perbandingan dengan manusia.
d. Simile
Membandingkan sesuatu keadaan, suasana, peristiwa diberi perbandingan dengan manusia.
2. Penggunaan ayat
Inversi – Gaya bahasa yang menyongsangkan ayat.
3. Pengulangan
Anafora / Epifora / Simplok
Memperlihatkan aspek pengulangan perkataan dalam setiap perkataan di awal ayat (anafora), tengah ayat (simplok), dan akhir ayat (epifora).
4. Unsur bunyi
Asonansi – pengulangan bunyi vokal (a, e, i, o, u)
Aliterasi – pengulangan bunyi konsonan
5. Nada
Nada Melankolik – menggambarkan suasana sedih
Nada Patriotik – menggambarkan penuh perasaan
Nada Sinis – menggambarkan perasaan kurang senang
Nada Protes – menggambarkan perasaan menentang
Nada Romantik – menggambarkan persaan yang tenang
Contoh sajak:
Pengemis Kota
Dari mana anak itu?
hati keras bicara sayu
merentas buih-buih hati keras
minta seteguk ihsan unggas kota
dihulur sejadah ikhlas selaut impian
agar kocek kosong rasa nikmat.
Wanita itu sujud di kaki lima
bekas kosong lagu sunyi
menanti hujan emas segunung rasa
untuk anak kecil di dangau usang
terus bermimpi.
Lelaki kaki kayu
lompat di dahan palsu tidak jemu
minta dipeluk dalam sesaat
pada bajingan kota mulut celupar
mulut manis mengucap syukur
bila tangan mulia hulur salam.
Bila aku raba mereka hilang
dirantai gergasi biru
dibawa ke tembok bisu
agar kota bebas meredeka.
Nas Nasuha,
Skudai, Johor.
2. Persamaan dan Perbedaan Jenis Puisi Lama
a. Persamaan dan Perbedaan Karmina, Distikon, dan Gurindam.
Persamaan : Sama-sama dua baris dalam satu bait.
Perbedaan :
Karmina :
baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua merupakan isi. contoh :
dahulu karang sekarang besi, dahulu sayang sekarang benci.
Distikon :
lebih mementingkan isi di samping irama, tidak terikat (bebas). contoh :
berkali kita tinggal,ulangi lagi dan cari akal.
Gurindam :
baris pertama merupakan sebab atau persoalan sedangkan baris kedua merupakan akibat atau penyelesaian. contoh : kurang pikir kurang siasat,tentu dirimu akan sesat.
b. Persamaan dan Perbedaan antara Pantun dari Syair.
Persamaan :
keduanya mempunym baris yang sama dalam satu bait, yaitu 4 baris.
Perbedaan :
sajak akhir berirama ab-ab pada pantun dan aa-aa pada syair. Pantun berisi sampiran dan isi sedangkan syair merupakan rangkaian cerita.
Persamaan dan Perbedaan antara Pantun dan Soneta.
Persamaan :
oktaf (8 baris pertama) pada soneta melukiskan alam sama halnya sampiran pada pantun, dan sektet (6 baris terakhir) merupakan kesimpulan dari oktaf, sama halnya dengan isi pada pantun. Peralihan dari oktaf ke sektet dalam soneta disebut volta.
Perbedaan :
terletak dari rumus sajak akhir, soneta rumus persajakan akhirnya masing-masing abba-abba-cdc-dcd sedangkan pantun ab-ab, dan tentu saja jumlah baris pada soneta 14 baris, terdiri dari 4 bait yakni dua buah kuatrain yang disebut oktaf dan dua buah terzina yang disebut sektet, sedangkan pantun hanya 4 baris. Pantun mewakili kesusastraan puisi lama sedangkam soneta mewakili kesusastramn puisi baru.
PENGEMIS DENGAN JAKET LUSUHNYA
Sore itu, aku berdiri tegak sambil menengadakan kedua tangan mengharapakan belas kasih para pengunjung. Ditengah kebisingan itu tak perduli logam atau sehelai kertas dalam bentuk rupiah mulai terkumpul diatas jaket lusuh yang sengaja ku simpan disisi kiriku. Lalulalang orang melintas dihadapanku, berbagai karakter telah mereka tampakan ada yang tersenyum simpul,ada yang hanya sekedar menganggukan kepala namun ada pula yang menatapku bagai tersimpan dendam membara diantara kami.akan tetapi sikap dan perilaku tersebut tak membuatku tuk mengurungkan niat untuk tetap menggantungkan nasib ini pada gedung mewah yang terletak tepat dihadapanku saat itu,bagiku alam pun tak mampu menghalang apa yang tengah saya lakukan kala itu.
Kemudian tak terasa keringat bercucuran membasahi tubuh hingga jaket lusuhpun turut merasakan hangatnya keringat itu, suatu hal mulai kurasakan seakan perut mulai terlilit lapar.akupun mencoba menhampiri sebuah gerobak dengan berisikan laksa dan ketupat serta potongan sayur mayur disamping belanga dengan air yang mendidih, entah apa yang selalu orang lakukan disana yang pasti penunggang gerobak itu selalu memukul-mukul sebuah mangkuk dengan sendok sembari memanggil orang-orang disekelilingnya. Saat itu angin bertiup sepoi-sepoi kesejukanpun tak luput aku nikmati walaupun tatapan sinis dengan muka garang tak sedikit tertuju padaku.
Sangat disayangkan kesejukan itu berlalu begitu cepat melebihi kecepatan kilat menyambar kala rintik menghampiri, dengan modal kumis tebal dan muka yang menyerupai arang membuatnya terlihat seram lelaki itu menghampiriku lalu memerintahkan aku agar meninggalkan tempat tersebut, sebab menurutnya keberadaanku disini hanyalah membawa sial baginya. Aku hanya menganga terdiam sejenak lalu bergegas pergi walau dalam hati bertanya”apa sebenarnya maksud dari ucapan itu???”Pergi kamu dari sini..pergi…dasar pengemis, kalimat itu terus terlontar dari mulutnya dengan suara yang seakan memecah gendang telinga.sikap polos yang telah belasan tahun bersamaku membuat aku membalikan badan kehadapan si kumis (sebutan yang tepat dariku)apa yang bapak maksu itu adalah saya???(dengan tersentak-sentak) tanpa memperdulikan ucapanku ia langsung memegang tanganku lalu menariknya bagai seseorang yang tengah mengikuti lomba tarik tambang pada acara 17 agustus.
Senyum simpul masih melekat dibibirku yang bergelombang carna terik akupun meninggalkan tempat itu agar si kumis tidak merasa dirugikan karena kehadiranku sebab ku sadar bahwa sebagai manusia sudah sepantasnya untuk berbuat sesuatu dengan tidak merugikan orang lain itulah kalimat yang selalu ditekankan kepadaku kala usiaku masil belia.
Sore itu, aku berdiri tegak sambil menengadakan kedua tangan mengharapakan belas kasih para pengunjung. Ditengah kebisingan itu tak perduli logam atau sehelai kertas dalam bentuk rupiah mulai terkumpul diatas jaket lusuh yang sengaja ku simpan disisi kiriku. Lalulalang orang melintas dihadapanku, berbagai karakter telah mereka tampakan ada yang tersenyum simpul,ada yang hanya sekedar menganggukan kepala namun ada pula yang menatapku bagai tersimpan dendam membara diantara kami.akan tetapi sikap dan perilaku tersebut tak membuatku tuk mengurungkan niat untuk tetap menggantungkan nasib ini pada gedung mewah yang terletak tepat dihadapanku saat itu,bagiku alam pun tak mampu menghalang apa yang tengah saya lakukan kala itu.
Kemudian tak terasa keringat bercucuran membasahi tubuh hingga jaket lusuhpun turut merasakan hangatnya keringat itu, suatu hal mulai kurasakan seakan perut mulai terlilit lapar.akupun mencoba menhampiri sebuah gerobak dengan berisikan laksa dan ketupat serta potongan sayur mayur disamping belanga dengan air yang mendidih, entah apa yang selalu orang lakukan disana yang pasti penunggang gerobak itu selalu memukul-mukul sebuah mangkuk dengan sendok sembari memanggil orang-orang disekelilingnya. Saat itu angin bertiup sepoi-sepoi kesejukanpun tak luput aku nikmati walaupun tatapan sinis dengan muka garang tak sedikit tertuju padaku.
Sangat disayangkan kesejukan itu berlalu begitu cepat melebihi kecepatan kilat menyambar kala rintik menghampiri, dengan modal kumis tebal dan muka yang menyerupai arang membuatnya terlihat seram lelaki itu menghampiriku lalu memerintahkan aku agar meninggalkan tempat tersebut, sebab menurutnya keberadaanku disini hanyalah membawa sial baginya. Aku hanya menganga terdiam sejenak lalu bergegas pergi walau dalam hati bertanya”apa sebenarnya maksud dari ucapan itu???”Pergi kamu dari sini..pergi…dasar pengemis, kalimat itu terus terlontar dari mulutnya dengan suara yang seakan memecah gendang telinga.sikap polos yang telah belasan tahun bersamaku membuat aku membalikan badan kehadapan si kumis (sebutan yang tepat dariku)apa yang bapak maksu itu adalah saya???(dengan tersentak-sentak) tanpa memperdulikan ucapanku ia langsung memegang tanganku lalu menariknya bagai seseorang yang tengah mengikuti lomba tarik tambang pada acara 17 agustus.
Senyum simpul masih melekat dibibirku yang bergelombang carna terik akupun meninggalkan tempat itu agar si kumis tidak merasa dirugikan karena kehadiranku sebab ku sadar bahwa sebagai manusia sudah sepantasnya untuk berbuat sesuatu dengan tidak merugikan orang lain itulah kalimat yang selalu ditekankan kepadaku kala usiaku masil belia.
Rabu, 23 Mei 2012
SENJA ITU IBUKU
terbit canda dalam tawa
sebagai langkah tuk sebuah kemenangan
jiwa yang lara terasah berkembang
hingga kembang tuk mengisap sari pada mawarku
kau cptakan segumpal dara
lalu kau jadikan sebutir bungga
hingga menjelma mutiara dalam hidupku
saat kau tersenyum karena tagismu
kau korbankan sejuta tangis bagiku
apakah luka itu suatu kebahgiaan
akankah akan menjadi rasa dalam kehidupan
IBU bukan tagismu yang kusesali
namun tagismu yang kutak inginkan
kini tawamu yang mengeruk
sebagai jantung dalam hidupku
sebab kutau hanya suaramu itu yang dapat mematuk
hingga ku dekap kau kembali.
sebagai langkah tuk sebuah kemenangan
jiwa yang lara terasah berkembang
hingga kembang tuk mengisap sari pada mawarku
kau cptakan segumpal dara
lalu kau jadikan sebutir bungga
hingga menjelma mutiara dalam hidupku
saat kau tersenyum karena tagismu
kau korbankan sejuta tangis bagiku
apakah luka itu suatu kebahgiaan
akankah akan menjadi rasa dalam kehidupan
IBU bukan tagismu yang kusesali
namun tagismu yang kutak inginkan
kini tawamu yang mengeruk
sebagai jantung dalam hidupku
sebab kutau hanya suaramu itu yang dapat mematuk
hingga ku dekap kau kembali.
Rabu, 09 Mei 2012
OHADA RONGGA KOLO-KOLOPU'A
Nola oasao tembo ,nolaa moia kolopua rongga o hada ,masaakono teeni o hada ,kolopua eheko tolako moalo opundi ,teeni kolopua ahio i mbe mopoaloando,masa akono teeni,maindo tolako moaloo i bunggungu.tibaaroto ibinggu masaakono ohada momone,pas nola iwawono o hada nopombupui opundi o aso boto no langsubg kuami.teenio kolopua ,o hada poweakupokai teaso botoh,teeni o hada wolei taindasawumu ku pohweiko .langsung no pekalingei ternyata kuli pundiiiiiiiiiiiii. masaakono no powai perangkap lantaran kolopua no mohaki penaono .okino mongopio no teeni kolopua .o hada petuhato merare lairoto iroono gorombola,okino mongopio ohada langsung no petuhaa mburere, langsung no tesusu.masaakono teeno kolopua NO LOWUKO OSUSURUI TEKOMBO-KOMBOAMU.
Langganan:
Postingan (Atom)