GAYA BAHASA PERBANDINGAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features. Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama—ada yang menyebut laporan utama, forum utama akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.
1.2 Masalah
Masalah yang di bahas dalam makal ini adalah bagaimanakah Gaya bahasa perbandingan.
1.3 Tujuan
Tujuan yang di capai dalam penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan gaya bahasa perbandingan.
1.4 Manfaat
Manfaat ini yang dapat di peroleh dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman gaya bahasa perbandingan.
2. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman gaya bahasa perbandingan.
3. Pembaca dapat mengetahui dan dapat menelaah secara detail mengenai gaya bahasa perbandingan
1.5 Ruang Lingkup
Makalah ini hanya membahasa gaya bahasa perbandingan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Dengan gaya bahasa perbandingan kita akan mengetahui unsur-unsur apa saja yang dianggap sama dan unsur-unsur apa saja yang dianggap berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis :
1. Perumpamaan
Gaya bahasa perumpamahan adalah membandingkan dua hal yang berbeda sehingga dianggap memiliki unsur-unsur persamaan diantara keduanya. Para jurnalis hanya dapat menggunakan gaya bahasa perumpamaan ini ketika menulis tajuk rencan, artikel, dan kolom. Gaya bahasa perumpamaan tidak boleh digunakan pada laporan jenis berita langsung (straight news), karena menurut kaidah jurnalistik gaya bahasa sejenis ini termasuk subjektif. Etika dasar jurnalistik mengajarkan tidak boleh bersikap subjektif dalam berita yang ditulisnya, ia harus objektif. Artinya, sikap objektif tidak hanya harus tampak pada materi isinya tetapi juga harus terlihat jelas pada susunan katanya.
Contoh :
Penjahat itu licin seperti belut, rakus seperti monyet; seperti kucing dan anjing.seperti singa lapar; bagai air dengan minyak, bagai air di daun talas. Bagai raja sehari, bagai kumbang dan madu, bagai cermin dibelah. Bagai putri gunung; bak cacing kepanasan, bak durian runtuh; ibarat bumi dan langit, ibarat siang dan malam, ibarat bulan dan bintang; dan laksana jenderal menang perang.
2. Metafora
Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta, 1976:648). Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang singkat, padat, tersusun rapi. Didalamnya terdapat dua gagasan. Pertama, suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan dan sesuatu yang menjadi objek. Kedua, merupakan pembanding terhadap kenyataan pertama tersebut (Tarigan 1983:141; 1985:183).
Pada metafora kata-kata penyebut yang secara eksplisit menunjukan adanya perbandingan yakni bagai, bak, ibarat, seperti, laksana, sengaja tidak dimunculkan. Seorang penulis atau jurnalis dianjurkan unruk sekali menggunakan metafora secara fungsional dan fariatif dalam karya-karyanya seprti pada artikel, pojok, karikatur, dan cerita khas berwarna (feature).
Contoh :
Anak emas, buah bibir, buah tangan, cuci tangan, mata keranjang, jinak-jinak merpatih, air mata buaya, kelinci percobaan, gudang ilmu, jendela dunia, pelita kehidupan, ditelan bumi, surga dunia, pata arang, manis mulut, buruk muka, mata duitan, ringan tangan, kaki tanganb.
3. Personofikasi
Secara etimologis personifikasi berasal dari bahasa latin, persona, yang berarti : orang, pelaku, pemain, aktor, subjek, atau topeng dalam permainan drama atau sandiwara.
Menurut Edgar Dale dengan gaya bahasa personifikasi kita memberikan ciri-ciri atau kualitas pribadi seseorangkepada gagasan atau benda-benda yang tidak bernyawa sehingga benda-benda yang tidak bernyawa itu seolah-olah menjadi hidup atau bernyawa seperti layaknya manusia (Dale, 1971:221).
Personifikasi adalah gaya bahasan perbandingan yang mengandaikan benda-benda mati, termasuk gagasan atau konsep-konsep yang abstrak berperilaku seperti manusia yang bisa menggerakan semua tubuhnya, berkata-kata, bernyanyi, bersiul, berlari, menari, melihat dan mencium. Personifikasi lebih tepat digunakan untuk karya-karya jurnalistik yang sifatnya soft news.
Seorang jurnalis surat kabar harian menggunakan personifikasi secara terbatas kecuali pada kaya artikel, kolom dan pojok, karikatur, kartun, laporan, dll. Sedangkan seorang jurnalis majalah mingguan berita dapat setiap memakai personifikasi. Menurut teori jurnalistik, majalah mingguan berita merujuk kepada jurnalistik sastra.
Contoh :
Nyiur melambai,mentari menciumi tubuh gadis itu, ombak berkejar-kejaran, gunung itu sejak pekan lalu terbatuk-batuk, cinta membawanya ke balik terali besi, dli.
4. Depersonivikasi
Gaya bahasa depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Depersonifikasi mengandaikan manusia atau segala hal yang hidup, bernyawa. Sebagai benda-benda mati yang kaku beku tak bisa melihat, mendengar, mencium, serta menggerakan tubuhnya. Gaya bahasa jenis ini, dalam bahasa jurnalistik digunakan terutama untuk menunjukan situasi, posisi, kondisi seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu hal yang sifatnya pasif.
Seorang jurnalis, dianjurkan untuk menggunakan depersonifikasi untuk melaporkan realitas kehidupan yang sarat dengan unsur ironi, paradoks, tragedi, dan bencana yang kerap datang sili berganti.
Contoh :
Dari tadi kakek tua itu mematung; wajah gadis itu membeku; kasihan, pegawai itu bermata ikan asin; akulah matahari engkaulah bulan, akulah siang engkaulah malam, dll.
5. Alegori
Alegori berasal dari bahasa yunani, allegorein, yang berarti bicara secara kias atau bicara dengan menggunakan kias. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Alegori dapat berbentuk puisi atau prosa. Fabel adalah sejenis alegori, yang di dalamnya binatang-binatang berbicara dan bertingkah laku seperti manusia (Tarigan, 1985:24).
Alegori sering ditemukan dalam bahasa jurnalistik, majalah remaja dan majalah anak-anak. Tujuannya lebih banyak bersifat persuasif dan edukatif daripada argumentatif atau korektif.
Contoh :
Kisah buaya yang tamak, kancil yang cerdik atau kelinci yang berbudi.
6. Antitesis
Antitetis berarti lawan yang tepat atau pertentangan yang sebenarnya (Poerwadarminta, 1976:52). Anitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri simantik yang bertentangan (Dukrot dan Tadoruv, 1981:277 dalam Tarigan, 1985:27).
Antitesis termasuk salah stu gaya nahasa andalan dalam dunia jurnlistik sastra. Antitesis membuat laporan jurnalistik yang sifatnya faktual, menjadi seolah-olah karya fiksi yang sifatnya imajisional. Artinya cukup sarat dengan lukisan suasana serta pengembangan karakter khas dari para pelaku yang terlibat dalam cerita itu. Dalam jurnalistik sastra, suasana dan karakter, tidak selamanya dikatakan tetapi justru lebih banyak dikisahkan menyatu dalam cerita.
Contoh :
Dia bersuka cita kalau aku dipenjara; kecantikkanyalah yang membawa dirinya kelembah nista; dll.
7. Pleonasme dan Tautologi
Pleonasme adalah pemakaian kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761). Suatu acuan disebut pleonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh (Keraf, 1985:133). Pleonasme merupakan penegasan terhadap suatu kata atau konsep yang sudah tegas dan jelas.
Tautologi adalah penegasan terhadap sesuatu hal yang mengandung unsur pengulangan tetapi dengan menggukan kata-kata yang lain. Bahasa jurnalistik tidak menyukai pleonasme dan teutologi karena keduanya bertentangan dengan prinsip keringkasan dan kelugasan.
Contoh pleonasme :
Rektor baru akan tibapukul 16.00 sore; hanya harga kentang dan cabai merah yang sudah turun lagi kebawah; dia mendengar istrinya telah berselingkuh dengan sopir truk dengan telinganya sendiri.
Contoh tutologi :
Pencopet yang tewas dibakar masa itu kini tidak bisa gentayangan lagi di bus-bus umum; darah merah itulah yang melumuri wajahnya; para pengungsi penerima bantuan satu tonatau seribu kilogram beras dari pemerintah propinsi.
8. Perifrasis
Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang agak mirip dengan pleonasmekedua menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Keduanya mempunyai perbedaan, pertama pada gaya bahasa prifasis kata-kata yang berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja (Keraf, 2004:134).
Contoh :
Setelah dirawat selama tiga pekan di rumah sakit, mantan pejuang yang sangat dicintai keluarganya itu akhirnya beristirahat dengan tenang untuk selama-lamanya (meninggal dunia); hanya dengan petunjuk sangat berharga (nasihat) dari kiai Kharismatik ia bisa mencapai prestasi seperti sekarang; wartawan olah raga itu mengakhiri masa lajangnya (menikah).
9. Antisipasi (Prolepsis)
Kata antisipasi berasal dari bahasa latin anticipatio berarti mendahului atau penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadili, 1980:234). Gaya bahasa antisipasi lebih banyak ditemukan dalam bahasa tutur atau percakapan. Tetapi pengaruh bahasa percakapan itu tidak jarang merembes pula kedalam bahasa tulis.
Contoh :
Tiga hari sebelumnya, gadis malang itu masih sempat singgah ke salon di dekat rumah untuk potong rambut; dll.
10. Koreksio (Epanortosis)
Koreksio (epanortosis) adalah gaya bahasa yang berwujud semula ingin menegaskan sesuatu tetapi kemudian memeriksa dan memperbaikinya mana yang salah (Tarigan, 1985:34-35). Dalam bahasa jurnalistik, gaya bahasa sejenis ini sesekali bahkan dianjurkan untuk dipakai sebagai bentuk fariasi kalimat sekaligus untuk menghindari kejenuhan.
Contoh :
Laki-laki pemulung itu pun mencintai, eh meniduri, sang nenek separuh baya ini hinggah subuh; dll.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Secara umum gaya bahasa yang digunakan dalam bahasa jurnalistik terdiri atas empat bagian besar : gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan
3.2 Saran
Di harapkan wartawan agar lebih jeli atau teliti dalam menggunakan gaya bahsa jurnalistik, dan gaya bahasa perbandingan.selain itu penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membanggun dari pembaca atau penikmat jurnalistik.
.
DAFTAR PUSTAKA
Sumadiria, AS.H. 2010. Bahasa Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar